Imamul Mujahidin,S.A,S.HI

SMP Sains Tebuireng - Ibnu sina adalah dokter yang paling banyak menemukan penyakit, dan paling banyak menyebutkan jenis penyakit beserta penyebabnya dan apa obatnya. Belum ada satupun dokter atau ahli medis di dunia ini yang karya-karyanya menjadi buku rujukan utama selama 700 tahun, yang mana itu dilaksanakan di Eropa, Asia, Benua Amerika dan Afrika. Kemudian kita juga bisa mengetahui bahwa Ibnu Sina bukan hanya mengeluarkan gagasan-gagasan didunia medis, tapi juga psikologi modern. Psikologi Ibnu Sina fokus pada penjelasan hubungan antara fisiologis dan psikologis. Bahkan penjelasan “Jiwa” ala Ibnu Sina sepenuhnya dikaitkan dengan kondisi fisiologis. Inilah yang kemudian menjadi landasan psikologi modern yang dipopulerkan oleh Sigmund freud. Pada abad reneisan orang-orang reneisan eropa sempat mentertawakan gagasan Ibnu Sina tentang prinsip-prinsip gallen. Akan tetapi beberapa abad kemudian gagasan-gagasan dan temuan Ibnu Sina itu terkonfirmasi kebenarannya sejak ditemukannya mikroskop. Kejeniusan Ibnu Sina terlihat Ketika karya-karya yang ditulis di tahun 1000 M baru terkonfirmasi oleh ilmu pengetahuan Ketika ilmu pengetahuan itu sudah beranjak modern dan sudah ditunjang oleh peralatan-peralatan yang jauh lebih canggih. Tetapi sayangnya, Ketika gagasan Ibnu Sina dipakai di Eropa, di dunia Islam Ibnu sina itu dihujat, dikritik, bahkan disebut kafir. Adapun yang membuat Ibnu Sina dicap sebagai kafir adalah karena ranah filsafat beliau. Sekarang kita bisa mengetahui Sebagian alasan mengapa negara-negara di Eropa lebih maju daripada negara-negara Islam saat ini.
            Landasan yang biasanya dipakai untuk mengkafirkan Ibnu SIna adalah buku karya Imam Al Ghozali berjudul Tahafut al Falasifah. Dalam buku tersebut Imam al Ghozali membuat semacam dialog imajinatif antara diri beliau dengan para filosof paripatetik diantaranya al Farobi dan Ibnu Sina. Ada 20 tema yang disuguhkan beliau disana, dan tiga diantara tema tersebut berimplikasi pada kekafiran. Siapapun yang mengingkari hal-hal ini maka dianggap kafir, yang menurut al Ghozali diantaranya adalah tentang ke Maha Tahuan Tuhan, kebangkitan Roh di akhirat, dan tentang kabadian alam semesta. Dalam hal ini sesungguhnya yang menjadi masalah utamanya bukan perdebatan filsafatnya, tapi buku itu dibaca oleh orang-orang yang belum mengenal filsafat untuk kemudian menjatuhkan filsafat. Sebenarnya diskursus tentang filsafat ini sudah dilengkapi oleh Ibnu Rusyd yang mana Ibnu Rusyd membantah Tahafut al Falasifat dengan karyanya Tahafut at Tahafut, sehingga semua klaim kekafiran dan kesesatan itu batal. Tapi kita tidak akan membahas perdebatan diantara kedua Kitab tersebut, akan tetapi kita akan fokus pada satu tema yang membuat Ibnu Sina dianggap kafir, yaitu Ketika Ibnu Sina berpendapat bahwa Allah itu tidak Maha Mengetahui. Allah itu bahkan tidak seharusnya mengetahui, dan seandainya Allah itu mengetahui maka pengetahuan Allah itu bersifat hal-hal yang umum saja. Adapun hal-hal yang detail itu sama sekali diluar pengetahuan Tuhan. Kenapa bisa sampai berpendapat demikian? 

            Kita mulai membahas apa definisi mengetahui itu dulu. Mengetahui atau Tahu yaitu adanya sesuatu yang terkonfirmasi didalam otak. Semakin banyak informasi terkonfirmasi didalam otak, maka orang itu akan disebut pintar. Informasi tersebut haruslah terkonfirmasi oleh hukum-hukum fisika atau hukum-hukum logika. Oleh karena itu, Musyrik jika kita mengatakan bahwa Allah itu Maha Mengetahui. Kenapa? Karena konsekuensi dari mengetahui itu ada 2 hal yaitu pengetahuan itu mengikuti dan bergantung pada apa yang diketahui. Seperti contoh ada meja keras, dinding keras. Meja dan dinding itu memang keras, kita melihat itu, kita coba memegang dan memukul itu lalu kita sadar kalua itu keras. Berarti pengetahuan itu mengikuti objeknya, bukan objek yang dipaksa mengikuti kemauan subjek. Kita yang menyesuaikan dengan objeknya. Lalu yang kedua, sesuatu yang diketahui itu haruslah datang lebih awal daripada yang mengetahui. Jika demikian kalau Allah Maha Mengetahui maka Allah haruslah lebih akhir munculnya daripada alam semesta, dan Allah harus tergantung pada sesuatu yang diketahui Nya. Mustahil Allah tergantung pada sesuatu yang diketahui Nya dan Mustahil juga Allah ada sesudah alam semesta. Disini dapat kita pahami bahwa Ibnu Sina sebenarnya tidak Ikhlas jika Allah digambarkan seperti itu, maka beliau menjelaskan bahwa pengetahuan Allah tidak seperti itu. Allah tidak Maha Mengetahui. Jika Allah Maha Mengetahui maka pengetahuan itu akan terbatas karena bersifat subjektif, sesuai dengan subjek Allah sendiri, dan oleh karena pengetahuan Allah itu general dan besar, mengikuti subjek diri Nya, maka tidak mungkin Allah itu menjelaskan hal-hal yang detail. Kurang lebih itu apa yang dimaksud oleh Ibnu Sina. 

            Penjelasan seperti ini untungnya hanya di ranah filsafat, dan didunia filsafat tidak ada istilah kafir mengkafirkan. Kalau kita melihat sifat-sifat Allah dalam sudut pandang filsafat, maka seluruh sifat-sifat itu akan menjadi kontradiktif atau bahkan paradox. Kenapa? Karena kita selalu membayangkan Allah Yang Maha Ilahiyyah itu dengan sifat-sifat insaniyyah. Misalnya manusia melihat Allah ditambahi Maha Melihat, manusia mengetahui Allah Maha Mengetahui, dst. Maka inilah yang akhirnya memunculkan kontradiksi dan paradox.

“Allah itu Esa, tapi bukan Esa yang itu. Esa itu hanya istilah kita manusia untuk menggambarkan Dzat Nya Allah yang manusia sendiri tidak sampai nalarnya untuk menggambarkan Esa Nya Allah”


Oleh : Imamul Mujahidin,S.A,S.HI
*) diolah dari berbagai sumber
Lebih baru Lebih lama