Imamul Mujahidin, S.A., M.Hi

SMP Sains Tebuireng - Ada sebuah diskusi hangat antara mahasiswa suatu kejuruan, mereka sedang membahas tentang stenografi. Stenografi singkatnya adalah ilmu tentang cara mencatat dengan super cepat. Apa faidahnya? Faidahnya agar siapapun yang berbicara bisa direkap secara penuh perkataannya ke dalam bentuk tekstual. Wartawan dimasa lampau saat melakukan wawancara, atau sekertaris yang menjadi notulen saat rapat, mereka diharuskan menguasai ilmu stenografi. Tapi sekarang zaman sudah berubah. Orang-orang, wartawan, sekertaris, moderator dan sebagainya sudah bisa menggunakan alat perekam, untuk bisa didengarkan apa yang disampaikan pembicara, bahkan bisa diulang-ulang. Oleh karena di sekolah-sekolah kejuruan stenografi dirasa sudah tidak dibutuhkan lagi tapi masih diajarkan, maka muncullah diskusi tersebut.

Ada pihak yang mengatakan bahwa stenografi sudah seharusnya dihilangkan dari mata pelajaran karena sudah tidak relevan dengan kehidupan saat ini. Sekolah itu untuk kepentingan masa depan, untuk jangka panjang, para siswa saat ini dimasa depannya akan hidup dengan cara yang baru, bukan dengan cara hidup orang-orang dimasa lampau. Tapi disisi lain ada juga orang yang pro stenografi mengatakan bahwa stenografi merupakan ciri khas dari kejuruan administrasi, sehingga tidak mungkin bisa dihilangkan. Walaupun zaman sudah berubah, tapi ilmu stenografi akan tetap dibutuhkan. Jadi stenografi itu sudah tidak relevan lagi dengan apa yang akan diperbuat oleh anak-anak kita dimasa depan, karena perkembangan teknologi saat ini sudah mampu menggantikan peran stenografi dalam kehidupan. Alasan mengapa stenografi tetap diadakan pertama karena guru-gurunya ada. Jika gurunya ada tapi mata pelajarannya tidak ada, maka mereka akan menganggur. Kedua, keberadaan stenografi adalah tradisi dimasa lampau sehingga stenografi di jurusan administrasi itu harus ada. Tanpa peran stenografi di masa lampau mungkin jurusan administrasi bisa ditiadakan. Kurang lebih alur berpikirnya demikian. Tetapi inilah gambaran tentang Pendidikan kita.

Pendidikan kita selalu berorientasi ke masa lalu. Tapi bukan berarti semuanya atau ilmu masa lalu itu buruk. Penekanan pada pembahasan ini adalah jika pendekatan berfikir untuk Pendidikan kita seperti gambaran diatas, maka ini akan sangat merugikan anak. Pertama, mereka sekolah ada biayanya. Anak-anak membayar biaya sekolah untuk bisa mempersiapkan masa depan yang bagus. Akan tetapi jangankan mempersiapkan masa depan, anak-anak justru diarahkan untuk belajar dan melakukan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh orang di zaman dulu. Anak-anak punya waktu yang sangat terbatas untuk mempersiapkan masa depannya, tetapi waktu itu habis untuk dimarahi, untuk diceramahi, untuk di doktrin tentang pengetahuan-pengetahuan yang harus dia kuasai untuk orang-orang dimasa lalu.

Sebuah artikel berita di okenews tanggal 2 maret 2020 memberitakan tentang kualitas Pendidikan di Indonesia yang tertinggal 128 tahun dari negara maju. Peringkat PISA kita turun dari peringkat 68 di tahun 2015 menjadi peringkat 72 di tahun 2018 dari total 72 negara. Kurang lebih gambarannya begini saat anak Indonesia yang dikatakan tertinggal 128 tahun bertemu dengan orang-orang dari negara lainnya. Misalnya ketemu orang Vietnam, orang cina, dan orang Australia. Mahasiswa Australia menyatakan bahwa nano teknologi saat ini sudah berkembang begini dan begitu, kedepannya saya akan membuat ini dari nano teknologi. Mahasiswa Cina menyatakan bahwa saat ini sumber daya ramah lingkungan sudah mulai disiapkan. Jika berhasil maka akan bisa memenuhi kebutuhan satu negara hanya dengan sedikit pengeluaran. Mahasiswa Vietnam menyatakan bahwa perdagangan di era sekarang sudah semakin maju, serba online, pasar saham meroket, nanti perusahaan saya akan pakai sistem ekonomi Samudra biru dan mulai menggunakan bit koin. Pikiran-pikiran mereka jauh berpikir kedepan dan tidak hanya berupa khayalan. Mahasiswa Indonesia mungkin akan menyatakan hal ini, “tahu gak, bahwa dulu orang-orang Indonesia menguasai asia tenggara lho, dimasa lampau itu orang Indonesia bikin Borobudur teknologinya udah maju lho”. Kenapa? Karena yang dipelajari adalah materi-materi dari cerita orang-orang terdahulu. Bahkan dulu sempat ada headline berita bahwa cina membuat matahari buatan berusaha menandingi ciptaan Tuhan. Padahal itu sebuah teknologi.

Mengapa pendidikan di Indonesia bisa demikian? Karena Pendidikan di Indonesia kurikulumnya dibuat oleh orang-orang yang sudah lama, berkecimpung didunia lama, guru-guru besar yang sudah lama tidak bersekolah dan sama sekali tidak melibatkan guru-guru dilapangan. Tidak melibatkan siswa, tidak melibatkan orang tua dan komponen-komponen lainnya. Rata-rata adalah teori dari buku-buku yang ditulis oleh orang-orang dari abad-abad yang lalu, terjadi dimasa lampau disatu zaman tertentu. Sekarang apa solusi yang ditawarkan? Saya akan menjabarkan sedikit tentang suatu sistem kurikulum pendidikan di salah satu negara yang sudah maju. Mekanismenya sama tapi berbeda. Ada SD, SMP, dan SMA. Pada jenjang SD, anak belajar tentang etika dan pengetahuan-pengetahuan paling dasar. Pada jenjang SMP, anak belajar tentang ilmu pengetahuan secara umum. Sedangkan pada jenjang SMA, anak sudah mulai mengaplikasikan dan menjalankan pengetahuan-pengetahuan secara lebih spesifik.

Ketika anak memasuki jenjang SMA, anak-anak akan diajak oleh gurunya untuk membangun visi bersama-sama. Contohnya dengan memulai dengan bertanya, “jika kalian diberi uang 1 triliun, apa yang akan kalian lakukan?” pertanyaan ini tidak mengajak siswa berkhayal tetapi mengajak siswa untuk membangun visi mereka. Saya pernah membuat sebuah poling kepada para siswa dengan pertanyaan yang sama. Faktanya adalah kebanyakan siswa tidak akan bisa menjelaskan jika punya uang sekian triliun, mereka tidak tahu akan digunakan untuk apa, karena tidak ada visi hidup, tidak puya target. Hanya jawaban menghayal dan ngelantur tapi tidak membentuk visi. Hidup seperti mengalir saja. Mungkin sebab hal tersebut susah sekali menjadi orang kaya di Indonesia. Jangankan mengupayakan, punya visi saja tidak.

Guru ikut berperan dalam memberikan dorongan, motivasi, inspirasi, kepada siswa jika diberi uang 1 triliun, apa yang bisa mereka lakukan? Masing-masing membuat visinya, lalu menjabarkan, visi saya begini dan begitu. Para siswa akan saling berdebat tentang visi mana yang paling baik. Akhirnya diputuskan dalam 1 kelas ada 4 visi besar. Ada yang ingin membangun hotel di dubai, ada yang ingin membuat energi ramah lingkungan, ada yang membangun pesantren sains, ada yang membuat pembangkit listrik tenaga koruptor misalnya. Akhirnya mereka yang visinya kurang begitu baik akan dipersilahkan untuk bergabung dengan kelompok manapun yang mereka inginkan dan terbentuklah 4 kelompok. Jadi memulai pembelajarannya itu dari visi siswanya.

Sebagai contoh visi dari kelompok yang ingin membuat sebuah pesantren sains yang megah, fasilitas pendukung lengkap, dan gratis. Para siswa sudah akan merencanakan membuat pesantren dengan uang 1 triliun sebagai modal. Maka mereka dipersilahkan bekerja sama. Dalam bekerja sama itu, siswa yang ahli seni, kecenderungan ke seni dan sukar dengan matematika, yasudah belajar saja seni. Peran si ahli seni di kelompok itu, dia bekerja sebagai pembuat desain pesantrennya. Tapi pembuatan pesantren yang keren itu harus disesuaikan dengan orang yang ahli antropologi. Mereka yang suka dengan budaya-budaya dan bahasa. Dia yang ahli seni meminta masukan dari siswa ahli antropolgi. Lalu siswa antropolog ini mempelajari apa yang dia senangi, belajar bahasa suatu daerah, kesukaan orang didaerah sekitar pesantren, selera orang-orang didaerah tersebut, bagaimana cara mereka menghabiskan uang, dan lain sebagainya.

Kemudian misi diserahkan pada tim ekonomi. Nanti siswa ekonomi ini akan menghitung banyaknya modal, keluar masuknya uang, termasuk juga bagaimana strategi pengelolaan dan mengembangan keuangan pesantren. Untuk membangun gedung pesantren harus ada orang yang ahli matematika, fisika, dan geografi. Disesuaikan pengetahuannya, tanah disini itu begini, tingkat keasaman begini, iklimnya begini. Jika dijabarkan bisa lebih banyak, karena dalam membangun sebuah pesantren saja pasti akan melibatkan banyak komponen bidang-bidang khusus. Jadi siswa yang suka pada pelajaran tertentu itu mereka mendapatkan porsinya, dapat bagiannya masing-masing. Semuanya bekerja sama dalam satu kesatuan yang sangat solid. Mungkin kita lebih mengenal sistem ini dengan istilah cooperative learning. Setiap siswa itu memiliki bakat dan minatnya berbeda satu dengan lainnya, dan mereka tidak bisa dipaksa belajar pelajaran yang mereka sendiri tidak bisa mengerti. Mereka hanya dipaksa untuk belajar memperdalam ilmu pengetahuan yang sangat mereka gemari. Supaya apa? Supaya ada dalam satu kelompok mencapai kesuksesan bersama-sama. Jadi skill individunya mereka keluar, tetapi kempuan untuk bekerja sama dalam satu tim juga terbentuk. Begitulah seharusnya nilai pendidikan diterapkan.

Selepas pembentukan visi dan kelompok, setiap pelajaran akan dibimbing oleh gurunya. Siapa yang suka antroplogi mereka dikelompokkan sendiri untuk belajar antropologi dengan guru yang ahli dibidangnya. Siapa suka ilmu tafsir, sastra arab, dan kitab kuning akan dikelompokkan sendiri dan dibimbing guru dibidang terbebut. Siswa yang suka managemen pesantren, studi sistem dan kurikulum pesantren, dikelompokkan sendiri dengan pembimbing khusus dibidang managemen. Semuanya dibimbing sesuai pelajaran dan keinginannya masing-masing, serta perannya masing-masing. Selesai bimbingan tersebut mereka akan menjalankan proyek dan diakhir kelas 3 mereka akan membuat proposal. Jadi syarat kelulusannya itu adalah membuat proposal tentang proyek masa depan mereka.

Prosposal yang sudah mereka rencanakan diujikan didepan pada investor dan konsorsium-konsorium besar. Jika salah atau gagal saat ujian, silahkan diperbaiki dan diulangi lagi. Kalau di Indonesia siswa gagal atau tidak tetap diluluskan saja, karena pada faktanya nilai yang ditampilkan adalah hasil rekayasa. Kalau di negara maju, jika salah mereka akan mengulanginya dan memperbaikinya, tidak akan ada yang malu, karena ini adalah bagian dari proses. Tidak akan dibully atau dimarahi. Kalau di Indonesia tidak naik kelas menjadi hal yang memalukan sehingga siswa akan mati kutu, bahkan ada yang bunuh diri, atau bunuh orang. Setelah diperbaiki, akan diujikan lagi didepan konsorsium, perusahaan-perusahaan besar. Sebagai gantinya jika ada yang lulus, lulusnya mereka itu berarti terakreditasi sesuai dengan teori dan nilai-nilai akademik. Karena sudah berhasil, para penguji tersebut akan benar-benar memberikan modal, karena mereka sudah berhasil memproyeksikan uang 1 triliun akan berkembang menjadi pesantren bagus dalam waktu sekian tahun. Orang-orang disana bebas memilih, apakah jadi kontraktornya atau pemiliknya, jadi peminjam modal saja nanti dikembalikan, dan sebagainya.

Pendidikan dinegara maju itu, pertama mereka tidak menyakiti siswanya. Jika di Indonesia siswa lebih cenderung disakiti. Karena mereka suka belajar ini tapi dipaksa belajar itu. Semua pelajaran dipaksa belajar. Kedua setelah lulus dari sekolah tidak ada satupun dari mereka yang harus mengemis-ngemis pekerjaan. Beda dengan di Indonesia. Sekolah 12 tahun capek dimarahi, dipaksa menguasai pelajaran, dan sebagainya untuk mendapat ijazah, lalu ijazah tersebut di tawar-tawarkan kesana kemari. Betapa merendahkaannya kita setelah belajar ilmu pengetahuan jika akhir pendidikan kita harus menawarkan ijazah ke orang lain untuk mendapat pekerjaan di negara sendiri. Ilmu pengetahuan itu harusnya rangking paling tinggi, dasar dari segala perilaku dan kebutuhan, solusi dari permasalahan, dan lain sebagainya. Ketika sudah terjun didunia pekerjaan, semua ilmu pengetahuan yang pernah kita pelajari 12 tahun tidak semuanya dipakai. Kalau ikut negara maju, tidak ada ilmu pengetahuan yang akan terbuang percuma, karena langsung diaplikasikan. Oleh karenanya jika ada yang menyatakan sekolah disana itu enak, memang enak karena langsung dapat jaminan.

Jadi kurikulum pendidikan di negara maju itu sudah pasti dan tidak akan ada siswa yang dirugikan. Belajar tidak harus dikelas, ada survei kesana kemari, makan bareng, ngopi dengan gurunya, bagaimana projeknya sudah sampai sejauh mana, lalu mereka akan presentasi. Setiap orang belajar berbicara langsung. Tidak seperti di Indonesia, anak kuliah, mahasiswa saat presentasi membaca. Kenapa? Karena mereka tidak mengerti fungsi belajar ini untuk apa? karena itu tidak akan masuk ke pikirannya, dan karena tidak paham jadi presentasinya membaca. Kalau disana mereka presentasi saya punya visi, gagasan, ini nanti begini, bentuknya begini, bayangkan nanti orang2 akan datang dan terkesima lihat karya saya. Jadi mereka sangat antusias. Orang Indonesia sebenarnya tidak bodoh, kita itu banyak yang cerdas. Kurang lebih sama dengan negara-negara luar yang sudah jadi negara maju. Tapi sistem pendidikan mereka jauh lebih relevan dengan kehidupan sehari-hari. Sedangkan kita belajar tanpa mengetahui jika kita belajar menguasai ini nanti faedahnya apa? Memang di perangkat pembelajaran ada tujuan pembelajaran dan harus disampaikan disetiap KD nya, tapi itu hanya sebatas formalitas administrasi, namun dalam prakteknya siswa tetap tidak mengetahui tujuan mereka belajar materi tersebut dan apa manfaatnya untuk mereka dimasa mendatang.


المحُاَفَظَةُ عَلَى القَدِيْمِ الصَالِحِ وَالأَخْذُ باِلجَدِيْدِ الأَصْلَحِ

Menjaga tradisi terdahulu yang baik, serta mengambil hal baru yang lebih baik

Oleh : Imamul Mujahidin, S.A., M.Hi
Diolah dari berbagai sumber
Lebih baru Lebih lama